Jika Kau Adalah Anakku

Kugerak-gerakkan kaki bongsorku di dalam sumber mata air panas. Menikmati ketenangan dalam riuhnya manusia di kolam. Bekas operasiku, yang masih kasat mata, seakan berterimakasih padaku. Ada nyanyian. Sepuluh meter dariku ada seorang bapak tua yang bersenandungkan syair. Terdengar seperti syair bahasa Indonesia, tapi bukan. Sepertinya menarik. Tapi, tak terlalu kupikirkan lagi senandungnya. Kudengarkan saja dalam panasnya air ini.

Di seberang, terdapat seorang bapak dengan putra kembar. Ketiganya memakai singlet putih khas orang berenang. Bedanya, si bapak bercelana hitam, si kembar bercelana merah dan hijau. Eh, sebenarnya jika diperhatikan lagi, mereka seperti kembar tiga. Hanya saja yang satu sudah makan steroid selama 10 tahun. Sangat mirip. Muka galak dengan mata dalam seakan siap menjadi guru olahraga yang suka memotong rambut gondrong siswanya.

Langit mendung di atasku tak mewakili perasaan orang-orang dalam kolam. Di setiap jengkalnya dihiasi dengan tawa dan cerita. Jika pun dunia bermasa depan kelabu, kurasa kita harus tetap seperti ini. Melakukan apa yang bisa kita lakukan, menikmati detik demi detik, melaksanakan peran kita. Entah sebagai anak, orangtua, siswa, pekerja lepas, pimpinan perusahaan, atau bahkan sekjen Sunda Empire. Kiranya ‘life must go on’ adalah kata-kata, yang meski cukup pesimistik, namun merangkum kehidupan ini. Bagiku, tahun 2018 dan 2019 adalah tahun yang seperti langit ini, kelabu. Kami kehilangan adik, sahabat, dan orang tua. Namun kehidupan harus terus berjalan, terus dinikmati. Walau segala di dalam dunia ini hanya senda gurau semata.

Pikiranku yang terbang bersama awan hitam di atasku dibangunkan oleh gemercik air dari sebelahku. Gemercik air dari seorang bapak dan anaknya. Kuperhatikan dengan seksama. Si anak sepertinya memiliki disabilitas mental, autisme. Terlihat dari rautnya. Tunggu deh. Lihat kakinya, astaga penuh dengan koreng. Hanya berjarak 3 meter dariku. Tapi biarlah. Aku bahagia hanya dengan melihatnya tertawa bersama bapaknya. Bapak yang sepertinya begitu tulus merawatnya hingga sebesar ini. Sebesar anak kelas 6 sd. Tawanya pun tawa yang lepas, seakan mengatakan ‘tak perlu bersusah payah untuk anakku, aku tulus merawatnya’. Bagaimana jika bapak itu adalah aku? Apakah aku akan sepertinya? Ataukah aku akan menjadi buruk dan menolaknya? Dapatkah aku adil sedari pikiran untuknya? Jika saja aku mau, apakah aku akan tulus? Ataukah keberatan? Tak ada yang tahu jawabannya. Sepertinya benar, kita semua diuji sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Dengan karakter kita masing-masing. Bahwa magnitude dari ujian itu berbeda-beda, terserah Tuhan. Dialah yang tahu cara menjadi adil seutuhnya. Bukan adil cara manusia, adil dengan persamaan. Tapi, jika si anak ini adalah anakku setidak-tidaknya satu hal yang kutau pasti, obat di dokter spesialis kulit itu mahal.

Lebak, 2 Februari 2020

Leave a comment